PENGERTIAN IDEOLOGI
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh destutt de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahawa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Kerena Pancasila merupakan ideologi dari negeri kita. Dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong usaha dalam menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan meyakinkan tentang Pancasila sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi bangsa Indonesia.
IDEOLOGI TERBUKA DAN IDEOLOGI TERTUTUP
- IDEOLOGI TERBUKA
Ciri “Ideologi Terbuka”
Ciri khas “Ideologi Terbuka” ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekyaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri.
Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan konsensus masyarakat. Ideologi terbuka tidak diciptakan, melainkan ditemukan dalam masyarakat sendiri.
Oleh karena itu ideologi terbuka itu adalah milik seluruh rakyat; masyarakat dapat menemukan dirinya kembali di dalamnya.Ideologi terbuka itu tidak hanya dapat dibenarkan, melainkan dibutuhkan.
Ciri khas formal ideologi terbuka adalah bahwa isinya tidak langsung operasional.
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka.
Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi pansila besifat aktual, dinamis, antisifasif dan senentiasa mampu menyelesaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat.
Keterbukaan ideologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senentiasa berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara.
- IDEOLOGI TERTUTUP
Ciri “Ideologi Tertutup"
Suatu ideologi tertutup dapat dikenali dari beberapa ciri khas.
Ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan berupa cita-cita sebuah kelompok yang mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui masyarakat. Ideologi tertutup adalah musuh tradisi. Kalau kelompok itu berhasil untuk merebut kekuasaan politik, ideologinya itu akan dipaksakan pada masyarakat. Pola dan irama kehidupan, norma-norma kelakuan an nilai-nilai masyarakat akan diubah, sesuai dengan ideologi itu. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Ideologi tertutup biasanya bersifat totaliter, jadi menyangkut seluruh kehidupan. Bidang yang segera dikuasai sepenuhnya dan dipergunakan bagi penyebaran ideologi itu adalah bidang yang mempengaruhi sikap-sikap masyarakat: bidang informasi dengan media massa dan bidang pendidikan.
Pluralisme pandangan dan kebudayaan dalam masyarakat mau dihapus. Agama-agama sebagai bentuk kesosialan yang membuat kebal terhadap pengaruh ideologi-ideologi dibatasi dan kalau dapat dihancurkan. Demi ideologi itu hak-hak asasi manusia tidak dihormati lagi, sebagaimana dikatakan oleh Rousseau. Demokrasi yang nyata dan pluralistik tidak akan ditolerir.
Ideologi tertutup tidak mengakui institusi lawan yang merelatifkan tuntutan-tuntutannya.
Kekuasaannya selalu condong ke arah total.
Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri.
Contoh Ideologi Tertutup
l Kekerasan yang terjadi IPDN sudah lama terjadi sebelum kasus Cliff Munthu ada Wahyu Hidayat yang menjadi korban tindak kekerasan di IPDN.
Tindak kekerasan yang IPDN sudah mendarah daging di dalam diri para praja IPDN ini akibat beberapa doktrin yang disalah artikan oleh praja IPDN seperti:
l Sentuhlah dengan hati, kalau tidak bisa sentuhlah ulu hatinya.
2 Kalau tidak bisa di luruskan, patahkan.
Doktrin seperti itu dijadikan pedoman bagi para senior dalam mengasuh para juniornya. Doktrin seperti ini dapat di katagorikan sebagai ideologi tertutup.
Idelogi tertutup adalah ideologi yang ada dalam sekelompok orang yang berasaskan pada cita-cita bersama, tidak dapat diganggu gugat oleh pihak luar dan para penganut harus setia dan tunduk pada ideologi tersebut.
Doktrin tersebut menjadi ideologi para senior Praja dalam mengasuh yuniornya. Doktrin tersebut tidak hanya berpengaruh bagi para praja dalam lingkungan IPDN tetapi juga mempengaruhi mereka dalam bersosialisasi dalam kehidupan bermasyakarat.
Akibat doktrin atau ideologi tertutup mereka, membuat peran Ideologi bangsa yaitu Pancasila, yang diterapkan di manapun tempat di wilayah NKRI menjadi kabur dan seakan tak berguna bagi kalangan Praja IPDN yang melakukan tindak kekerasan.
Selain itu juga Agama yang merupakan sebuah doktrin bagi Manusia dalam menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat.
Kiranya jelas bahwa klaim ideologi tertutup harus selalu ditolak. Negara tidak berhak untuk membuat sebuah ideologi tertutup menjadi dasar kebijaksanaannya.
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
Untuk bisa melihat Pancasila sebagai lebih jernih kita perlu melihat sejarah awalnya Pancasila. Pancasila adalah sebuah istilah yang diciptakan Bung Karno dalam pidatonya di siang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, sehingga dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Sedikit dari kita yang masih mengingat bahwa Pancasila versi Bung Karno di BPUPKI berbeda dengan Pancasila yang kita kenal sekarang. Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta, dengan revisi sila pertama. Pancasila versi Bung Karno adalah seperti ini:
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ke-Tuhanan yang Maha Esa
Bung Karno melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus menjadi sebuah bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir. Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno melihat sila ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan. Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama. Itulah versi Bung Karno.
Lain lagi dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Keadilan Sosial
Kemudian Yamin merevisinya menjadi:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Rasa persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Mohammad Yamin menempatkan Tuhan di sila pertama. Yamin memaknai sila ke-Tuhanan berbeda dengan Bung Karno. Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar negera melainkan pengakuan akan ke-Tuhanan yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila ini sebagai pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang berbeda-beda. Belum lagi yang animis, politeis apalagi ateis. Oleh karena itu di dalam pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya mengikat bagi bangsa Indonesia, tidak mengikat bagi masing-masing pribadi. Namun tawaran ini juga memberikan masalah baru, karena kalau sila pertama tidak mengikat, begitu pula sila berikutnya, dengan demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu pula kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar.
Sementara itu golongan Islam umumnya mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa sila pertama adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui Tuhan yang Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan, kebangsaan kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila pertama adalah inti dari Pancasila. Golongan agama, khususnya monoteis, setelah digantinya versi Piagam Jakarta yang berbunyi Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penganutnya, dapat menerima versi ini.
Akhirnya adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini, minus sila pertama:
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya; menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi selurah rakyat Indonesia.
Penyusun Piagam Jakarta ini adalah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Mohammmad Yamin. Kelompok ini memang didominasi oleh golongan Islam, sehingga tidak aneh hasilnya seperti demikian. Dan bisa dipahami bahwa Ke-Tuhanan yang Maha Esa versi Piagam Jakarta mengacu pada ke-Tuhanan versi Islam, atau paling tidak versi agama monoteis. Agama politeis seperti Hindu dan agama ateis seperti Buddha tidak mendapat tempat. Begitu pula penganut animisme, dinamisme, dan banyak kepercayaan menurut adat lainnya. Penganut paham materialis seperti komunisme juga tidak mendapat tempat. Jumlah mereka yang diabaikan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penganut monoteisme tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka juga berdiam di tanah Indonesia.
Di sinilah akar permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap, mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS, UUD Sementara) adalah bersifat sementara. Masalah perumusan dasar negara adalah penting sebelum penyusunan konstitusi karena diperlukan pijakan filosofis bagi konstitusi: apakah ia berdasar agama, atau yang lain misalnya. Pancasila yang tercantum di UUD 1945 adalah sebuah kesepakatan sementara yang diterima dalam keadaan darurat, dimana perbedaan-perbedaan diabaikan demi kegentingan situasi. Adalah tugas Konstituante untuk menyelesaikan masalah ini, begitu besar masalah yang diemban oleh Konstituante. Di lain pihak Konstituante adalah badan paling demokratis yang pernah ada di bumi Indonesia. Ia dibentuk oleh pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Semua orang menaruh harapan besar pada Konstituante.
Di dalam Konstituante terdapat pertentangan yang kuat tentang tafsir Pancasila ini. Penafsiran kelima sila lima tersebut tidak mencapai kesepakatan mengenai sila apa yang paling mendasar. Golongan agama melihat sila yang pertama, Ke-Tuhanan yang Maha Esa sebagai yang paling utama dan mendasari sila yang lain. Golongan komunis, yang cukup besar waktu itu sebagai pemenang ke-4 Pemilu tentu tidak bisa menerima ini. Mereka mau mengubah sila pertama menjadi "Kebebasan Beragama". Secara implisit sebenarnya mereka mau memasukkan tafsir bahwa bebas beragama juga berarti bebas tidak beragama, yang menjadi landasan berpikir bagi paham mereka. Ini tentu saja tidak bisa diterima oleh golongan agama, karena melihat ini sebagai pintu masuk bagi komunis untuk mengambil alih negara ini. Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran yang lain. Mereka mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan sebagai sila yang utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila menjadi satu sila, ia menamakannya Ekasila, yaitu "Gotong Royong". Golongan agama tentu tidak bisa menerima ini juga, karena sila utamanya menjadi bukan sila ke-Tuhanan. Perdebatan tiga golongan ini cukup untuk membuat sidang Konstituante panas. Sayangnya masalah ini tidak pernah selesai. Pada saat Konstituante sedang masa reses, mereka ditelikung dari belakang lewat persekutuan di belakang antara Soekarno lewat PNI, tentara melalui IPKI (Ikatan Partai Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan PKI memboikot Konstituante. Akhir ceritanya sudah kita ketahui semua, Dekrit Presiden yang mengakhiri era paling demokratis dalam sejarah Indonesia.[1]
Sebuah kesempatan emas untuk menyelesaikan masalah bangsa yang paling besar, masalah dasar negara, seperti yang diamanatkan UUD 1945, telah lewat, digantikan dengan masa diktatorial Soekarno. Sejak itu pintu perdebatan dasar negara ditutup, digantikan oleh ideologi Nasakom yang diajukan Soekarno. Hal yang sama pun dilakukan oleh Soeharto dengan ideologi Pancasila (versi Orde Baru) dengan P4 dan 36 butir pengamalan Pancasila. Pancasila yang belum selesai ini pun menjadi alat penguasa, bukan lagi menjadi dasar negara.
Pancasila yang belum selesai ini menyimpan masalah yang sewaktu-waktu bisa terbuka kembali. Seperti kata Sutan Takdir Alisyahbana dalam pertemuan Perhimpunan Pendidikan Indonesia di Bandung tanggal 27 Desember 1950, Pancasila hanyalah kumpulan faham-faham yang berbeda-beda untuk menenteramkan semua golongan pada rapat. Dengan demikian golongan agama dalam ditenteramkan dengan sila pertama. Mereka yang humanis dapat dipuaskan dengan sila kedua. Yang nasionalis dengan sila ketiga, yang demokrat dengan sila keempat dan sosialis dengan sila kelima. Mengenai apakah semuanya bisa berkesinambungan menjadi satu ideologi negara adalah persoalan lain, karena masing-masing golongan mempunyai tafsirnya masing-masing terhadap Pancasila.
Memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 1945, adalahmemperbincangkan ideologi nasional Bangsa Indonesia yang tentu saja akan dikaji berdasarkan konteks waktu, generasi dan semangat jaman, maupun perspektif sudutpandangnya, dan diharapkan dapat menjadi wacana yang lebih komprehensif sertabermuara pada kegiatan dan tindakan yang nyata, sehingga tidak terjebak dalamromantisisme, abstraksi dan angan-angan pemikiran belaka. Pancasila tidak bergerak pada proseskonseptualisasi yang semakin mantap, tetapi mempunyai peran dalam kegiatan empiriksebagai visi, orientasi dan perangkat kritik dalam kehidupan praktis berbangsadan bernegara. Pembudayaan Pancasilasebagai ideologi modern harus berjalan selaras dengan proses pembangunan bangsadalam berbagai aspeknya tanpa terjebak dalam praktik dogmatisme dandeterminisme, serta indoktrinasi. Indonesiadan Pancasila adalah realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yangmelepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yanglebih bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna fungsional sebagaipenopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasipembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyatIndonesia.
Pancasila oleh para foundingfathers dimaksudkan sebagai staat fundamental norm sekaligus philosophiegrondslag. Makna dari hal ini adalahditempatkannya Pancasila sebagai sistem nilai yang menjadi landasan bagipenyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta filosofi hidup bagi setiapwarga negara. Pancasila dengan demikianmemiliki makna emansipatif karena ada orientasi berupa tindakan praktis dalamsetiap denyut kehidupan di Indonesia. Pancasila menjadi jiwa yang tertanam dalam setiap sanubari seluruh elemenbangsa untuk menyusun Indonesia,kini dan esok. Dalam pengalamankehidupan kebangsaan kita, Pancasila yang telah berusia 63 tahun lamanya, telahmelampaui ruang dan waktu berdialektika dengan dinamika jaman. Sepanjang waktu itu, Pancasila telah menjadilandasan bagi penyelenggaraan negara dengan berbagai dinamikanya. Sejarah lahirnya Pancasila memberikanpesan kepada kita bahwa Pancasila merupakan manifestasi dari keluhuran budi dansemangat kolektifitas dari bangsa Indonesia yang oleh para founding fathers dirumuskanmenjadi suatu tata nilai bagi kehidupan kebangsaan yang lebih untuk Indonesia yangmerdeka. Pancasila menjadi produkhistoris dari konsensus sosial segenap kekuatan sosial politik yang membentukIndonesia modern tersebut, sekaligus dijadikan pengalaman empiris dalammenciptakan harmoni di antara perbedaan kepentingan dari keragaman orientasi.
Nilai-nilai Pancasila pada praktik pengejawantahannya kemudiansangatlah dipengaruhi oleh struktur kepentingan kekuasaan politik yang tengahberlangsung. Pengalaman sejarah politik bangsakita memperlihatkan hal tersebut. Pancasilapernah berada pada masa dijadikan suatu instrumen politik untuk mengakhirifragmentasi dan kekacaubalauan politik eksperimen demokrasi liberal dalamsistem politik parlementer yang bertentangan dengan Pancasila yang berlandaskannilai-nilai ke-Indonesiaan. Dengandemikian, keluarnya dekrit Presiden 1 Juli 1959 dapat dimaknai sebagai suatuupaya politik untuk mengembalikan prinsip permusyawaratan yang merupakan nilaiprinsipal dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Pancasila harus berdialektikadengan interpretasi yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru. Komitmen untukmelaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada realitasnyakemudian justru menjadi jargon dan idiom politik politik belaka. Kita menyaksikan realitas adanya keretakanantara sistem nilai ideal dengan pengalaman praktis. Pancasila bermetamorfosa sebagai ideologicalstate apparatus dalam bentuk doktrin resmi berupa butir–butir P4 yangdioperasionalisasikan oleh represif state apparatur dalam forum–forum resmipenataran, litsus negara dengan berbagai aparatusnya. Tingkat pemahaman terhadap butir–butir P4kemudian menjadi ukuran bagi sesuatu yang oleh negara dianggap sebagai kadarkomitmen terhadap Pancasila. Persoalan muncul bukan pada nilai–nilai ideal yang terkandung dalam P4, namun terletakpada kesenjangan antara nilai–nilai ideal dalam penjabaran Pancasila dengan praktek kenegaraan.
Tak hanya itu,Pancasila pun digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penataan politik yang muaranya adalah menjaga legitimasi dan stabilitas kekuasaan rezim yang berlangsung. Atas nama Pancasila,penguasa secara sewenang–wenang melakukan tindakan represi terhadap masyarakatkritis yang dianggap potensial menjadi ancaman bagi kekuasaan. Dua realitas penyelewengan terhadapnilai-nilai Pancasila, yang pertama: adalah bentuk dari praktik kemalasan bangsauntuk senantiasa mengaktualisasi dan merevitalisasi nilai-nilai luhur jadi-diribangsa, sebagai elaborasi Pancasila terhadap konteks aspirasi jaman dan dangenerasi. Sehingga menjadikan kita tidakpercaya diri dan gamang. Mengadopsisebuah nilai dengan menirunya mentah-mentah. Bila tanah (baca: ruang) yang mau dipijak saja tidak tahu, langit (baca:jaman) mana yang akan dijunjung. Kedua: terutamapada praktik penyerderhanaan, yang melahirkan penyeragaman dan orientasi kepadamateri yang bersifat fisik belaka. Proses sebagai nilai penentuan hasil cenderung dibaikan, tak pelak lebihmudah menerima hal yang instan dan cepat saji.
Rakyat dan realitasnya diabaikan perannya sebagai unsur emansipatorisbersama pemerintah dan negara, untuk menggunakan Pancasila dalam menilai pembangunanbangsa dan negara. Pada prinsipnya keduapraktik penyimpangan, adalah praktik korupsi, terutama terhadap nilai, yangkini telah melahirkan ketidakadilan, diskriminasi, dan cenderung menggunakan kekerasandaripada berdialog dan bertoleransi karena pluralitas masyakat dan budayanya.
Indonesia,kini memasuki babak lanjut dari perjalanan sejarahnya, masuk pada tatamasyarakat global yang makin integratif. Berjuta peluang dan tantangan adadidepan kita. Perkembangan tehnologi daninformasi memungkinkan kita untuk mengembangkan diri dan memajukan peradabankita. Namun demikian, ketidaksiapan kitadapat juga menimbulkan permasalahan dalam pergaulan global. Dalam konteks ini kita merasakan bahwa dampakglobalisasi yakni liberalisasi ekonomi dengan praktik korporasi yang tamak,yang pernah dialami oleh bangsa kita hampir genap empat abad lamanya. Mulai era imperialisme kolonial Belandadengan Perseroan Terbatas yang bernama VOC menancapkan kuku kekuasaanya dikerajaan–kerajaan Nusantara. Kemudian hinggaberlangsung pada derajat yang lebih intens ketika pada pemerintahan yang meriliskebijakan politik dan ekonomi pintu terbuka terhadap kepentingan modalasing.
Dikeluarkannya UU Penanaman ModalAsing tahun 1967, membawa Indonesia dalam tata ekonomi yang dikonstruksi olehpaham kapitalisme-liberalisme secara lebih dalam. Pancasila dilupakan sebagai dasar filosofi kehidupanberbangsa dan bernegara, yang dapat menjadi dasar penataan, politik, ekonomidan negara. Liberalisasi tahap lanjut saatini, berjalan paralel dengan arus gerakan demokratisasi yang diusung olehgelombang reformasi, implikasinya adalah semakin terbukanya ruang untukmengekspresikan kebebasan yang cenderung menjadi anarkhi. Liberalisasi melanda seluruh sektor danbidang kehidupan tanpa terkecuali dan menyeret Indonesia dalam tata duniaglobal tanpa reserve. Liberalisasi inidi satu sisi memberikan inspirasi akan tata masyarakat bebas, keluar daripraktik penindasan dan penjajahan, dari rezim yang hegemonik dan represif. Kebebasan ini diyakini dapat memberikankesempatan untuk menata kehidupan lebih baik sebagaimana menjadi cita–cita foundingfathers. Namun demikian, yang perludikritisi adalah muatan kepentingan neoliberal yang menyelusup dalam kebebasan inisarat dengan sejumlah kontradiksi yang tidak sesuai dengan Indonesia Merdekayang kita cita-citakan.
Saat ini para pemimpin negara kita, seolah kehilangan daya untuk bernegoisasi dengankepentingan–kepentingan global maupun kepentingan kelompok yang kerap bertentangandengan kepentingan nasional. Hal inimembuat masyarakat bangsa kita mengalami kemunduran kebelakang jauh seperti yangdicita-citakan Pancasila, dan terjebak dalam berbagai problematika kebangsaanyang semakin carut-marut, kompleks, dan akut. Dalam alam yang lebih bebas kini, negara tidak lagi mempunyai kemampuanmonopolistik untuk menafsirkan Pancasila. Kini ada ruang yang sama terbuka bagi siapapun untuk menginterpretasikanPancasila dalam suasana demokratis. ImplementasiPancasila tidak pada sekedar abtraksi teoritis, tetapi semakin emansipatifberupa tindakan–tindakan praktis dalam berbagai bidang kehidupan.
Pancasila tidak hanya sumber etik sosial,tetapi juga sebagai instrumen politik bagi masyarakat untuk melihat kinerjastruktur kekuasaan yang sedang berlangsung dan melawan semua bentuk ketidakadilansosial, diskriminasi, kekerasan dan segala manifestasinya. Logika yang memposisikan Pancasila adalah alat kekuasaan harus dibalik dengan menyertakan nilai–nilai yang tumbuhberkembang dalam masyarakat secara demokratis, dan kacamata untuk melihat dan memastikankekuasaan telah bekerja sesuai dengan mandat rakyat. Pancasila sebagai ideologi nasional,merupakan konsensus sosial yang bersifat final. Konsekuensi dari hal ini adalah penerimaan terhadap Pancasila secarademokratis tanpa wacana dan upaya – upaya menyangsikan keberadaanyanya. Para pemimpin elit politik yang ada padasupra dan infra struktur politik memikul tanggung jawab besar untukmengintegrasikan Pancasila dalam semua dimensi kehidupan dan menjawab seluruhpersoalan yang terjadi dan dirasakan bangsa kita saat ini.
Oleh karenanya elit politik harus berani memutar haluan kembali, kembali pada Pancasila sebagai pedoman dalam perilaku politik secara nyata dengan berpijak teguh pada padatiga hal: Pertama, karena kita adalah negara merdeka, tentunya harus menunjukanmemiliki kedaulatan. Kedaulatan yangtidak dinilai karena formalitas batas geografis dan pengakuan politik darinegara lain. Namun yang terpenting,memberikan peneguhan rakyat kita sendiri, dengan cepat dan berani bersikap,tegas dan jelas, pada pengambilan keputusan yang menyangkut rakyat dannegara. Kegamangan dan keragu-raguan,sama saja menyemai sikap oposisi yang selanjutnya anarkis yang masif gunapemenuhan keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan rakyat dan negara. Kedua, di bidang ekonomi yang seharusnyauntuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pengelolaansektor yang menjadi sumber daya ekonomi bangsa diprioritaskan bertumpu padapotensi bangsa sendiri dan untuk kepentingan rakyat banyak.
Proses menghadirkan kemampuan berdiri, tidak disederhanakandengan tindakan nasionalisasi aset. Karena hidup dalam perkembangan dunia yang kian mengglobal, menjadilebih mudah bila pilihannya pada semakin meningkatkan kemampuan dan keunggulandaya saing bangsa. Kemampuan dankeunggulan daya saing pada sumber daya manusia, baik pada produksi, konsumsidan komunikasi. Ketiga, kekayaan akanragam budaya dan nilai-nilai luhurnya adalah modal bagi kepribadian bangsaIndonesia. Modal dasar ini harus semakindikembangkan untuk pemenuhan dan peningkatkan peran kontributifnya padapengembangan peradaban dunia secara universal. Hal inilah kenapa Bung Karno, salah satu pendiri negara dan bangsa Indonesia, menuliskannya kepada kita dengan: ....nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang hidup pada taman sari internasionalisme... Pancasila harusdiintegrasikan dalam perilaku sosial maupun politik dan sebagai alat pemersatubangsa disemua dimensi kehidupan.
Perubahanakan dapat terjadi jika para pemimpin politik kita dapat memberikan tauladankepada seluruh masyarakat akan pelaksanaan Pancasila secara murni dankonsekuen. Bentuk nyata dari keteladanandan konsistensi pelaksanaan Pancasila ini dapat dimulai dengan diakhirinyakebijakan–kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, praktikkejahatan korupsi, ego kepentingan yang bersifat sektoral, pengutamaanpermusyawaratan sebagai mekanisme politik dalam menyelesaikan seluruh persoalanbangsa dan menolak seluruh kepentingan asing yang bertentangan dengankepentingan nasional.
Pancasila dinilai gagal meniupkan roh kebangsaan dan spiritualitas rakyat Indonesia ? Karena dianggap terlalu normatif dibandingkan dengan ideologi lainnya, semisal Marxisme, Sosialisme dan Liberalisme, terutama dalam hal metodologinya, maka ada yang mengatakan hal itu benar.Bagaimana bisa mengangkat bangsa ini, jika Pancasila telah terpinggirkan dari zona kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila hanyalah sebuah artefak sejarah yang nasibnya tak jauh beda dengan sampah, dimasukkan di tempat pembuangan dan dilupakan begitu saja. Apalagi menurut Koento Wibisono Siswomihardjo, penghapusan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menimbulkan sikap alergi dan sinis masyarakat terhadap Pancasila. Yang lebih menyedihkan lagi adalah hampir 70 % perguruan tinggi telah menanggalkan mata kuliah Pancasila sebagai bahan ajarnya. Ini adalah preseden buruk bagi Pancasila sendiri. Semakin Pancasila terpinggirkan, bangsa Indonesia terancam krisis ideologi dan mudah tersusupi ideologi lain yang kental sektarian. Ini adalah titik nadir bagi keberlanjutan NKRI (Gatut Saksono:2007).
Ada beberapa ideologi yang masih eksis. Ideologi kapitalisme menawarkan nikmat duniawi seperti kekayaan, penguasaan modal sebagai tujuan pokok. Sedangkan komunisme menawarkan persamaan kepemilikan antar individu dalam suatu komunitas sebagai representasi keadilan distributif yang menjadi unsur pokoknya. Di Indonesia, ideologi Pancasila menawarkan keluhuran budi dalam etika berbangsa sebagai daya pikat untuk mengundang masyarakat sepaham dengan muatan ideologi yang dibawanya. Jadi semua ideologi pada umumnya menawarkan satu garis perjuangan pokok sebagai konsentrasi utamanya. Kemudian dengan isu pokok tersebut diasumsikan dapat menjawab segala persoalan kehidupan.
Indikasi tersebut banyak bermunculan mengingat perilaku para ideolog cenderung menjadi fanatik, dan bangga, terhadap ideologi yang dianutnya. Kaum kapitalis begitu bernafsunya mengejar uang sebagai pangkal pokok kehidupan.
Sehingga apapun yang tidak berbau uang bukanlah kehidupan yang pantas untuk dijalani. Demikian juga komunisme, para pengajur ideologi ini begitu lantang meneriakan keadilan distributif bagi kaumnya, tanpa pernah mengimbangi dirinya dengan sisi spiritualisme Akibatnya ideologi yang ada sekarang terlihat kurang utuh dalam menyikapi problem kehidupan. Ideologi terlalu diginalisir menjadi sebuah sistem yang mampu menuntaskan segala hal. Padahal ideologi di mata orang awam yang dihinggapi perut lapar, takkan ada manfaatnya apa-apa jika tidak mendatangkan keadilan dan kemakmuran.
Maka dari itu persoalan umat manusia hubungannya dengan kehidupan bangsa, terutama ekonomi menjadi begitu dominan. Prof. Gunar Mirdal peraih hadiah nobel bidang ekonomi melalui penelitiannya mengenai keterpurukan negara-negara terbelakang dalam bidang ekonomi menyebutkan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama keterbelakangan tersebut. Hal ini menandaskan bahwa dalam kehidupan apapun segala persoalan harus menempatkan pembenahan perilaku harus menjadi perhatian utama. Artinya bahwa apapun ideologi yang dianut, tetap aspek perilaku memegang kunci dalam membangun peradaban.
Pancasila, yang notabene dilahirkan atas pondasi nilai-nilai luhur yang tumbuh di dalam diri bangsa Indonesia, menurut saya amatlah pantas dijadikan ideologi trans nasional. Hal ini didasarkan pada subtansi nilai-nilai Pancasila yang cenderung melengkapi berbagai unsur-unsur kehidupan termasuk didalamnya ideologi dan bukannya membenturkannya. Sehingga Pancasila, saya nilai sebagai ideologi yang mempunyai karakteristik konvergensi daripada dikotomis. Oleh karennya untuk mendapatkan hasil yang dicita-citakan Pancasila dibutuhkan pemahaman bersama (mutual understanding) dan tingkat pendidkan yang lebih baik (well educated) agar kesan yang muncul dari pancasila sebagai ideologi tidak terlalu apologetik.
Menurut Ma’ruf Amin, Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Menurutnya Pancasila adalah sebagai Vision of state. Inilah yang sering kali tidak dipahami para penentang Pancasila sebagai ideologi transnasional bangsa Indonesia. Mereka kecewa kepada Pancasila karena tidak membawa perubahan yang berarti bagi hidup mereka. Padahal jika kita lihat pandangan Feith, Persepsi yang salah dari beberapa kelompok terhadap Pancasila sebenarnya bukan terletak pada nilai-nilai luhurnya, tetapi lebih ditujukan kepada cara menafsirkan dan memperlakukan nilai-nilai tersebut (Feith,1991).
Ke depan agaknya senada dengan pendapat Dr Kaelani, agar Pancasila tidak menjadi ideologi Transnasional yang tumpul maka perlunya adanya pembenahan dari epistemologi pemahaman kita terhadap Pancasila. Beliau mengusulkan agar ada usaha untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah sistem nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh.
Kita memang tidak bisa memutar kembali jarum sejarah. Masa demokrasi terpimpin apalagi masa Orde Baru dengan sukses membuat tidak saja bangsa ini a-historis tapi juga a-ideologis. Lihat saja partai-partai yang berlaga di era reformasi ini, tidak ada yang mengusung ideologi partai yang jelas, apalagi kalau melihat sepak terjang mereka di parlemen. Persekutuan mereka bukanlah persekutuan kebangsaan dan persekutuan ideologis melainkan persekutuan kepentingan, itu pun kepentingan jangka pendek. Hanya segelintir partai saja yang menunjukkan garis politik yang jelas, entah itu agamis, kanan atau kiri. Sisanya cuma melihat angin politik, mana yang bertiup lebih kencang.
Bangsa ini dengan ideologi yang tidak jelas juga terlihat banci. Ideologi kita tidak jelas, kiri atau kanan. Di dalam text book Pancasila, atau PMP atau PPKn, disebutkan bahwa ideologi kita tidak komunis dan juga tidak liberal. Hal ini sulit diterima oleh akal khususnya bagi mereka yang terdidik, karena tidak kiri atau tidak kanan sama saja dengan tidak berideologi, alias berfondasi di atas pasir longgar. Dan ini di era Orde Baru malah membuat bangsa ini mengambil semua keburukan liberal barat (swastanisasi dan liberalisasi perdagangan) dan semua keburukan komunisme (represi dan sensor informasi). Kebancian ideologi seperti inilah yang membuat bangsa ini bisa terombang-ambing, tergantung pihak mana yang memainkannya.
Mempersoalkan kembali Pancasila memang ibarat membuka kotak pandora. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. Di lain pihak sulit untuk melihat bangsa ini maju ke depan tanpa menyelesaikan masalah ideologi bangsa. Nampaknya bangsa ini memang terjepit seperti memakan buah simalakama. Hal seperti ini memang sering terjadi di dalam sejarah. Bangsa Amerika saja harus mengalami perang sipil yang memakan korban sangat banyak untuk menyelesaikan masalah ideologinya. Mudah-mudahan bangsa ini bisa belajar dari sejarah bangsa lain sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ideologi bangsa ini dengan gontok-gontokan di alam pemikiran saja, tidak di level fisik. Meskipun kalau melihat perkembangan belakangan ini sulit diharapkan bangsa ini bisa menyelesaikan masalah sepeka ini tanpa gontok-gontokan fisik. Mungkin memang tepat para bapak bangsa kita dulu sebelum merdeka yang lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan, untuk membuat anak-anak bangsa ini melek. Tanpa itu kita hanya menjadi bulan-bulanan sejarah.
Souvenir Iddha Wulandari
npm 109400045
No comments:
Post a Comment